Aku melihat galon sudah terpasang di tempatnya. Mungkin dia mengangkat sendiri lalu terjadi insiden hingga airnya berceceran di lantai.
“Kok nggak minta angkatin, sih? Iya tumpah, kalau nimpa kaki gimana?”
Nova tersenyum kecut. Aku berjalan hati-hati karena lantai yang basah. Baru saja aku hendak menggendong si bungsu untuk mengganti celananya, Nova mencegah.
“Biar saja, Mas. Nanti sekalian anak-anak mau aku mandikan.”
Karena dilarang, aku mengajak si sulung saja.
“Nggak usah, Mas. Biar sama aku saja,” tolaknya.
“Nggak apa, Dek. Kan kamu masih ngepel.”
“Udah, nggak apa, Mas.” Nova memasukkan lap ke ember lalu mengajak anak-anakku ke kamar mandi.
Aku memindai seluruh dapur. Semua sudah beres. Tampaknya Nova sedang tidak butuh bantuanku. Ya, sudah. Aku kembali ke ruang tengah lantas menyalakan televisi.
Tak lama kemudian, anak-anak sudah bersih dan rapi. Mereka berlarian di depanku. Saling kejar, bahkan beberapa kali si bungsu hampir menabrakku.
“Aduh! Pada bisa tenang nggak, sih?! Papa mau nonton, nih!”
Nova yang tadinya berada di dapur segera muncul dan membawa anak-anak agar bermain di dapur saja.
Aku dapat menonton dengan tenang, tetapi menjadi tak enak hati. Belakangan ini Nova menjadi irit bicara. Tidak meminta bantuan atau meminta uang dengan kata-kata menggoda. Kok, jadi rindu, ya?
Pernah juga, aku melihat Nova mengompres dahi si bungsu. Waktu itu aku baru pulang dari kantor. Saat kutanyakan, rupanya anakku demam dan Nova telah membawanya berobat. Aku bertanya dengan apa dia pergi ke dokter. Nova menjawab bahwa mereka menumpang ojek.
***
“Mas, aku pamit pergi sama Mbak Sinta, ya.”