“Mau ke mana?” Sinta adalah kakak iparnya Nova. Dia menikah dengan saudara lelaki Nova.
“Nengok Ibu,” jawabnya.
“Loh, Ibu kenapa, Dek?”
“Ibu masuk rumah sakit, Mas. Udah dari kemarin.”
“Kok, kamu nggak ngasih tau aku, Dek?”
“Aku sudah kirim pesan sama Mas. Tapi dibaca doang,” keluhnya.
Aku ingat. Dua hari yang lalu, dia memang mengirim pesan bahwa akan pergi ke rumah ibu. Aku membacanya saja karena dia tak meminta apa pun.
“Biar aku antar saja,” ujarku.
“Udah. Nggak apa, Mas. Udah kadung janjian ini,” tolaknya. “Anak-anak aku bawa, Mas. Belum tahu pulangnya jam berapa.”
Baru kali ini aku merasa benar-benar diabaikan. Ibunya Nova kan ibuku juga. Masa dia mau pergi sama Mbak Sinta.
Aku juga menantu ibunya, bukan? Seharusnya aku yang lebih wajib menemani Nova untuk membesuk ibu mertua.
Mbak Sinta menjemput dengan motor. Aku pun akan mengantar Nova dengan kendaraan roda dua. Sama-sama bisa kehujanan atau kepanasan.
Nova dan anak-anak akan lebih aman jika pergi denganku karena aku adalah lelaki! Namun, dia lebih suka bepergian dengan orang lain.
Hal itu telah membuatku amat tersinggung.
***
Aku menunggu hingga sore. Dia belum juga pulang. Sehabis Magrib, sebuah SUV hitam berhenti di depan rumahku. Nova turun seorang diri. Dia masuk rumah dengan wajah berurai air mata.
Aku yang sejatinya hendak marah menjadi iba melihatnya.
“Ada apa, Dek?” tanyaku cemas. SUV milik kakak lelakinya masih menunggu di depan rumah.
“Ibu meninggal, Mas. Tadi sore,” tangisnya pecah. Nova mengemasi pakaian anak-anak, juga pakaiannya sendiri.
“Kok, kamu nggak ngabarin aku, Dek?” Aku merengkuh tubuhnya agar dia menangis di dadaku. Namun, Nova menolak karena sibuk mengambil pakaian.
“Selama ini Mas nggak pernah menjawab pesanku. Paling dibaca doang. Jadi aku pikir, Mas nggak bakal merespon kalau aku kirim pesan. Makanya aku nggak langsung ngabarin tadi sore.”
Aku tergugu. Benar apa yang Nova katakan. Aku hampir tidak pernah menjawab pesan-pesan yang dia kirim padaku.
Hanya aku baca lalu kulupakan. Rupanya hal itu membuatnya kapok lantas menganggapku tak ada.
Aku hanya beberapa kali saja membentaknya saat minta dibantu mengangkat galon, tetapi hal itu telah menorehkan luka di hatinya.
Aku cemberut saat memasang tabung gas, itu saja sudah cukup bagi Nova untuk tak lagi meminta bantuanku.
Saat ibu mertuaku berpulang pun, dia sampai tak tergerak hati untuk memberi tahu karena mengabari atau tidak, sudah sama saja baginya.
Saat Nova kembali naik ke SUV hitam yang menunggunya. Aku bergegas menyambar peci dan mengunci pintu rumah.
Aku membuntuti mobil itu menuju ke rumah duka. Anak-anakku pasti rewel di sana. Di mana Nova akan terduduk dan membalut luka kehilangannya seorang diri.
***
Astagfirullah hal Adzim. Untuk para lelaki yang bergelar suami. Bersyukurlah jika istrimu masih meminta bantuanmu.
Berterima kasihlah saat dia masih menadahkan tangan untuk meminta sebagian dari rezekinya yang Allah titipkan padamu.
Karena jika dirinya tidak lagi meminta, itu pertanda bahwa kau sudah tak lagi mengisi relung hatinya.
Palembang, 1 Februari 2022