Seperti Dituturkan Rully Kustandar di Imer :
Suatu hari di akhir tahun 2001, seperti biasa saya berangkat agak malas dari rumah di Bogor ke kantor di daerah Raden Saleh Jakarta. Iya, harus saya akui dalam beberapa tahun terahir, bangun tidur untuk pergi kerja ke kantor adalah hal yang paling menyebalkan dalam hidup, rasanya tersiksa sekali.
Jam menunjukan pukul 8:30, tapi saya masih diseputaran Cibubur, padahal jam masuk kerja pukul 8:00, terlambat memang. Ahirnya saya memilih untuk menelepon kantor dan mengatakan saya masuk setelah jam makan siang, melewati Cawang, saya arahkan mobil ke daerah Kuningan dan kemudian merapat ke Setiabudi Building.
Jam menunjukan pukul 10:15, perjuangan yang luar biasa dalam menempuh kemacetan Jakarta, saya kemudian menuju ke sebuah Cafe yang cukup terkenal. Saat itu saya butuh sendiri, butuh merenung, karena ada satu hal besar yang harus saya putuskan.
Hal besar yang akan menentukan masa depan, tidak hanya masa depan saya, tapi juga masa depan anak dan istri saya. Kalau kata anak muda sekarang lagi “galau berat”.
Setelah masa reformasi, terjadi pergeseran manajemen di perusahaan tempat saya bekerja. Manajemen baru kemudian memutuskan untuk melakukan perampingan Karyawan dengan menawarkan pensiun dipercepat atau dalam istilah kami Golden Shakehand, program ini ditawarkan kepada karyawan dengan masa kerja lebih dari 10 tahun.
Program ini sangat menarik bagi saya, selain nilai pesangonnya cukup menggiurkan yang menurut pikiran saya saat itu bisa jadi modal awal buka usaha (walaupun belum kepikiran mau usaha apa), program ini juga seolah-olah jadi pintu ke arah mimpi akan kebebasan waktu, financial dan menjalani hobi traveling yang selama jadi karyawan jelas tidak bisa tersalurkan.
Walaupun istri saya pada prinsipnya mendukung jika saya ingin mengambil program ini lalu memulai untuk mandiri berwirausaha, tetap saja ini merupakan sebuah keputusan yang sangat berat saat itu.
Surat permohonan mengikuti program pensiun dini sudah saya buat lebih dari seminggu, namun hingga saya berada di Cafe ini belum saya tanda tangani, padahal batas waktu penyerahan surat permohonan hanya tinggal 2 hari lagi.
Ketika sedang asik-asiknya melamun, tiba-tiba saya dikejutkan oleh sebuah tepukan dipundak, ternyata seorang sahabat lama saat kuliah dulu. Lama sekali kami tidak saling berjumpa, dia sekarang adalah pengusaha dibidang angkutan kapal laut.
Setelah berbasa-basi, teman saya lalu bertanya:
“Kamu dari tadi aku lihat seperti sedang mikirin sesuatu….”
Saya ahirnya menceritakan semua yang sedang saya pikirkan saat itu. Kemudian terjadilah dialog ini.
“Kalau kamu masih kerja di perusahaan sekarang, apakah ada kemungkinan karir kamu sukses?”, tanya dia.
“Kemungkinan itu ada”, jawab saya. Saya manager dengan umur paling muda saat itu, dan paling cepat, karir saya termasuk baik, dan terbuka untuk meraih puncak tertinggi.
“Ok, kalau kamu tetap bertahan di perusahaanmu saat ini, adakah kemungkinan karir kamu mentok/tidak berkembang atau bahkan hancur?”, lanjut teman saya.
Mungkin saja, ada beberapa teman di kantor saya yang awal karirnya cemerlang eh tiba-tiba kena kasus lalu grounded.
“Kalau kamu jadi berwirausaha, apakah ada kemungkinan kamu sukses dalam membangun bisnis?”, pertanyaan terus mengalir.
Saya jawab sangat mungkin, usia saya saat itu masih cukup muda untuk memulai usaha, punya modal dalam bentuk uang hasil dari pensiun dini.
Masa sih nggak bisa sukses jadi pengusaha….
“Ok, pertanyaan terahir. Kalau kamu keluar lalu memulai berwirausaha, apakah ada kemungkinan usahamu itu gagal dan bangkrut?”.
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, yang jelas kemungkinan saya gagalpun ada, tapi saya akan berusaha keras itu tidak akan terjadi.
“Nah, semua pilihan kemungkinannya sama, tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Lalu, ngapain kamu sibuk mikirin sampai ngelamun berkepanjangan. Apapun yang kamu pilih toh sukses dan resiko nya sama. Sama-sama tidak pastinya, putuskan saja apa yang menjadi impianmu, ikuti kata hatimu yang paling dalam, belajarlah untuk percaya pada intuisimu, apapun rintangannya kamu hadapi. Buat komitmen pada diri sendiri untuk melakukan itu terus menerus sampai apa yang kamu impikan berhasil menjadi kenyataan. Dah ah, gw mau ada meeting sama client, loe nggak usah bengong begitu, kontak gw nanti ya….”
Damn!!! Menohok sampai ke ulu hati paling dalam.
Iya, ya… ngapain susah-susah dipikirin wong resiko sama. Kita ini seringkali terlalu sibuk mikirin yang tidak perlu, takut berlebihan sama sesuatu yang belum jelas, padahal waktu lahir ke duniapun Tuhan itu nggak ngasih apa-apa sama kita, tidak ada satu orangpun didunia ini begitu dilahirkan punya duit milyaran atau langsung bisa punya keahlian kayak programming misalnya. Cicak nggak punya sayap aja bisa hidup, padahal makanannya nyamuk yang lincah terbang.
Nggak mikir panjang lagi saat itu juga itu surat saya tanda-tangani, dan sesampainya di kantor saya serahkan pada manajemen.
Hidup ini memang isinya pilihan dan resiko, kalau tidak mau menghadapi resiko mendingan jangan hidup. Milih pasangan hidup aja ada resikonya. Tidak ada yang pasti didunia ini, yang pasti itu cuma satu, kita pasti mati, itupun nggak jelas kapan datangnya….
Share Jika Bermanfaat Ya !
Sumber : Imers