Skandal kesalahan yang menimpa mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, terutama berkaitan dengan kebijakan “perang melawan narkoba” yang ia jalankan selama masa kepresidenannya (2016-2022). Berikut adalah penjelasan singkat tentang kasus tersebut berdasarkan informasi terkini hingga tanggal 24 Maret 2025:
Kebijakan “perang melawan narkoba” yang dipimpin Duterte bertujuan untuk memberantas peredaran narkotika di Filipina.
Namun, pendekatan ini menuai kontroversi besar karena melibatkan tindakan keras yang diduga melanggar hak asasi manusia.
Selama periode tersebut, ribuan orang—baik tersangka pengguna maupun pengedar narkoba—tewas dalam operasi polisi atau oleh kelompok vigilante yang diduga mendapat dukungan tidak langsung dari pemerintah.
Menurut data resmi pemerintah Filipina, setidaknya 6.248 orang tewas, tetapi kelompok hak asasi manusia memperkirakan jumlah korban bisa mencapai 30.000, termasuk banyak kasus eksekusi di luar hukum (extrajudicial killings).
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mulai menyelidiki dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait kebijakan ini sejak 2016, dengan penyelidikan formal diluncurkan pada 2021. Penyelidikan mencakup periode ketika Duterte masih menjadi Wali Kota Davao (sebelum 2016) hingga Maret 2019, sebelum Filipina menarik diri dari ICC di bawah kepemimpinannya. Pada 11 Maret 2025, Duterte ditangkap di Bandara Internasional Manila berdasarkan surat perintah ICC setelah kembali dari Hong Kong. Ia kemudian diterbangkan ke Den Haag, Belanda, untuk menghadapi dakwaan “pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Skandal ini juga diperparah oleh sikap Duterte yang menolak meminta maaf atas tindakan tersebut. Dalam sebuah video yang direkam selama penahanannya, ia mempertanyakan dasar hukum penangkapannya dengan menyatakan, “Kejahatan apa yang telah saya lakukan?” Ia bersikeras bahwa kebijakannya bertujuan melindungi rakyat Filipina dari bahaya narkoba dan bahwa ia bersedia bertanggung jawab atas perintah yang diberikan kepada aparat keamanan.
Penangkapan Duterte memicu reaksi beragam. Pendukungnya, termasuk putrinya Sara Duterte (Wakil Presiden Filipina saat ini), menyebutnya sebagai penganiayaan dan pelanggaran kedaulatan nasional. Sementara itu, kelompok korban dan aktivis hak asasi manusia menyambut baik langkah ini sebagai upaya menegakkan keadilan. Presiden saat ini, Ferdinand Marcos Jr., yang semula enggan bekerja sama dengan ICC, akhirnya memenuhi kewajiban hukum internasional, meskipun hubungan politiknya dengan klan Duterte telah retak.
Kasus ini menjadikan Duterte mantan kepala negara Asia pertama yang diadili di ICC, menandai skandal besar yang tidak hanya mencoreng reputasinya tetapi juga memperlihatkan polarisasi politik di Filipina. Proses hukum di ICC masih berlangsung, dengan sidang awal dijadwalkan untuk menentukan langkah selanjutnya.