Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang tengah dibahas pada tahun 2025 merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan informasi yang tersedia hingga saat ini, isi RUU Polri mencakup beberapa poin utama yang menjadi sorotan karena dianggap memperluas kewenangan Polri serta memicu kontroversi di kalangan masyarakat sipil. Berikut adalah ringkasan isi RUU Polri berdasarkan draf yang telah beredar dan analisis publik:
1. Perluasan Kewenangan di Ruang Siber
Salah satu poin krusial adalah pemberian wewenang kepada Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap ruang siber. Ini mencakup kemampuan untuk memblokir, memutus, atau memperlambat akses internet demi alasan keamanan dalam negeri. Pasal ini, yang sering dikaitkan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf q, menuai kritik karena berpotensi membatasi kebebasan berekspresi dan melanggar privasi warga negara.
2. Peningkatan Kewenangan Intelijen
RUU Polri mengusulkan perluasan tugas Intelijen Keamanan (Intelkam) Polri, seperti yang tercantum dalam Pasal 16B, untuk melakukan penangkalan dan pencegahan kegiatan yang dianggap mengancam “kepentingan nasional.” Namun, istilah “kepentingan nasional” tidak didefinisikan secara jelas, sehingga dikhawatirkan dapat disalahgunakan untuk mengawasi aktivitas warga yang kritis terhadap pemerintah.
3. Penyadapan Tanpa Izin
Dalam draf RUU, Polri diberi wewenang untuk melakukan penyadapan dalam lingkup tugas kepolisian sesuai undang-undang yang mengatur penyadapan. Namun, ada kekhawatiran bahwa kewenangan ini tidak mensyaratkan izin khusus atau pengawasan ketat, berbeda dengan lembaga seperti KPK yang harus mendapat persetujuan Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan.
4. Perpanjangan Batas Usia Pensiun
RUU Polri mengusulkan perubahan batas usia pensiun anggota Polri. Misalnya, pejabat fungsional tertentu bisa bertugas hingga usia 65 tahun sesuai peraturan perundang-undangan. Hal ini dinilai dapat memengaruhi regenerasi di tubuh Polri dan memicu polemik terkait urgensinya.
5. Penguatan Peran dalam Penyelidikan dan Penyidikan
Polri juga diusulkan memiliki wewenang untuk memberikan petunjuk dan bantuan dalam penyelidikan atau penyidikan kepada penyidik lain, termasuk dari instansi sipil. Ini dikhawatirkan dapat menciptakan dominasi Polri atas lembaga penegak hukum lain, seperti KPK, dan berpotensi mengganggu independensi proses hukum.
6. Minimnya Mekanisme Pengawasan
Kritik utama terhadap RUU ini adalah kurangnya penguatan mekanisme pengawasan publik terhadap kewenangan Polri yang diperluas. Tanpa checks and balances yang memadai, banyak pihak menilai Polri bisa menjadi lembaga “superbody” dengan kekuasaan yang tidak terkendali.
RUU Polri ini masih dalam tahap pembahasan di DPR RI dan belum resmi disahkan per tanggal 27 Maret 2025. Prosesnya menuai penolakan dari berbagai kalangan, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KontraS dan PSHK, yang menyoroti potensi ancaman terhadap demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi sipil.
Isi pasti RUU dapat berubah seiring pembahasan lebih lanjut, tetapi poin-poin di atas mencerminkan substansi yang menjadi perhatian utama berdasarkan draf terbaru yang tersedia.