berfikir sesaat lebih baik dari

Berpikir Sesaat Lebih baik daripada Ibadah 60 Tahun

Oleh : Alil Wafa

Kita manusia, oleh Allah SWT dianugerahi potensi otak untuk berpikir melebihi makhluk lainnya. Kelebihan ini diberikan agar diasah dan dipergunakan sebaik mungkin.

Ungkapan “Apakah kalian tidak berpikir?” sering difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an untuk memantik kita agar senantiasa menggunakan potensi tersebut.

Namun baru berapa dan dalam hal apa potensi tersebut kita pergunakan?

Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW juga menjanjikan pahala yang sangat besar bagi siapa saja yang mau berpikir, sebagaimana yang tersurat dalam Hadis “Tafakkaru Sa’atan afdhalu min ‘ibadati sittina sanah” (berfikir sesaat lebih baik daripada ibadah 60 tahun).

Berbicara tentang hadis tafakkur, ada yang mengganjal dalam benak kita. Bagaimana mungkin aktivitas yang begitu mudah dan ringan ini dijanjikan pahala yang begitu besar?

Mungkin untuk menjawab sedikit keganjalan ini sebaiknya kita mengkaji terlebih dahulu hadis tersebut, baik dari jalur transmisi, kapasitas, dan juga statusnya.

Sanad Hadis

Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Imam Dafr bin Ali dari Imam Abu Bakar bin Muhammad bin Ali dari Imam Muhammad bin Ahmad bin Abdurrahman, dari Imam Muhammad bin Hibban, dari Abdullah bin Muhammad bin Zakariya, dari Utsman bin Abdillah al-Qurasyi, dari Ishaq bin Nâjih al-Malâthî, dari Imam ‘Atha’ al-Khurasani, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW.[1]

Kapasitas Hadis

Hadis ini oleh Ibnu al-Jauzi[2] divonis palsu dan tidak sah jika digolongkan sebagai Hadis (lâ yashihhu)[3]. Menurutnya, dalam rentetan mata rantai sanad, dua rawi tersohor yang terdapat dalam hadis tersebut adalah pendusta:

Pertama, Ishâq bin Nâjih al-Malâthî. Banyak sekali komentar-komentar miring ditujukan padanya. Imam Ahmad bin Hanbal misalnya, berkomentar bahwa Ishaq adalah manusia paling pendusta. Imam Yahya juga berkomentar bahwa Ishaq adalah orang yang masyhur sebagai pendusta dan sering memalsukan Hadis.

Imam Ya’qub al-Fashwa juga mewanti-wanti agar siapapun tidak boleh menulis Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh Ishaq. Komentar pedas juga terlontar dari Imam Ahmad bin Muhammad bin al-Qasim bin al-Muharraz, beliau mengatakan, “Ishaq itu pendusta besar, musuh Allah SWT, seorang laki-laki jelek serta kotor”.

BACA JUGA :  Format Video yang Mampu Merekam Gambar Hampir Sama dengan Film

Kedua, Utsman bin Abdillah Al-Qurasyi. Imam Ibnu Hibban berkata, Utsman suka membuat hadis palsu dan meletakkannya pada rawi-rawi yang terpercaya.”[4]
Redaksi ini juga disebutkan oleh Imam al-Fakihani[5]. Namun redaksinya tidak menggunakan ta’ marbuthah pada lafad fikratu. Beliau menjelaskan bahwa redaksi ini bukan sabda Rasulullah,melainkan perkataan Imam as-Sari as-Saqati[6].

Catatan penting :

Kita tidak bisa gebyah uyah menolak Hadis tersebut dan ogah mengamalkannya dengan berlandaskan paparan serta argumen Imam Ibnul Jauzi.

Memang Hadis di atas diplot palsu olehnya, namun Imam al-Hafidz al-Iraqi[7] dalam takhrîj-nya terhadap hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn tidak sampai memvonis palsu Hadis tersebut, beliau hanya mendha’ifkannya[8].

Hadis tersebut juga mempunyai beberapa syâhid (Hadis penguat yang mempunyai substansi sama namun berbeda redaksi) yang diriwayatakan oleh Imam ad-Dailami dari Hadisnya Sahabat Anas bin Malik secara mauquf (perkataan sahabat Anas) yaitu:

“Berpikir sesaat di malam dan siang hari lebih baik dari pada ibadah seribu tahun.”
Juga syahid yang diriwayatkan oleh Imam Abus Syekh dalam kitab al-‘Uzhmah dari Hadisnya Amr bin Qais, yaitu:

“Telah sampai padaku (Amr bin Qais) bahwa berfikir sesaat lebih baik dari pada amal satu tahun”

Selain Hadis di atas juga terdapat beberapa redaksi yang bervariasi, namun substansinya sama dan kapasitasnya tidak sampai pada status palsu (maudhû’), yaitu:
“Berpikir sesaat lebih baik dari pada ibadah 60 tahun.”

Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab al-‘Uzhmah dari Abi Hurairah t dengan jalur transmisi Hadis yang dha‘if.

“Berpikir sesaat lebih baik dari pada ibadah 80 tahun.”

Redaksi Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur ad-Dailami dalam kitab Musnadul-Firdaus. Namun Isnad (jalur transmisi) hadis ini sangat lemah. Dan masih banyak lagi redaksi lain yang berbeda di bagian akhirnya.

Kadang memakai redaksi “lebih baik dari ibadah setahun”, kadang “lebih baik dari pada ibadah tujuh puluh tahun”, dan kadang “lebih baik dari pada bangun malam”. Yang pasti, manusia muslim yang mau memaksimalkan kemampuannya dalam berfikir adalah sosok muslim yang terpuji dan patut disuritauladani.

BACA JUGA :  Dulu ‘Dibuang’ Ibunya Saat Umur 2 Tahun, Kini Jadi CEO dan Jutawan di Usia 20 Tahun

[1] Periksa: al-Maudlu’ât libni al-Jauzi vol. 3 hlm. 144

[2] Al-Hafidz al-Mufassir Jamaluddin Abu al-Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Ubaidillah bin Abdullah bin Hamadi bin Ahmad bin Muhammad bin Ja’far bin Abdullah bin al-Qasim bin an-Nadlr bin al-Qasim bin Muhammad bin Abdullah bin al-Faqih Abdurrahman ibn al-Faqih al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ash-Shiddiq (Lahir 109/110H).

Di antara karya-karyanya adalah: al-Mughni Kabir (tafsir), al-Maudlu’at (kompilasi Hadis-Hadis palsu), adl-Dlu’afa’ (kumpulan nama-nama rawi lemah), dan Talbis Iblis.

[3] Periksa: Syekh Ismail bin Muhammad al-Ajluni (wafat 1162 H), Kasyfu al-Khafâ’ juz. I hal. 310.

[4] Syaikh al-Islam abu al-Hasan as-Sari as-Saqati (160-253/251/157 H). Beliau adalah orang yang pertama kali berbicara tentang ‘Ulûm al-Haqâiq (Ilmu-ilmu Hakikat) dan menampakkan lisan tauhid di Baghdad.

[5] Abdurrahim bin al-Husain bin Abdurrahman bin Ibrahim bin Abi Bakr bin Ibrahim al-Hafidz Zainuddin Abu al-Fadl al-Iraqi al-Misri as-Syafi’i (725-806 H). Beliau mempunyai banyak karya diantara yang terpopuler adalah Takhriju Ahadits al-Ihya’, Kitab yang secara spesifik mentakhrij hadis-hadisnya Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddin.

[6] lihat: Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Arraq al-Kanani, Tanzih as-Syari’ah fi al-Ahadits al-Maudlu’ah vol. 2 hlm.305.

[7] Karya al-Hafidz abi asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Ja’far bin Hibban al-Ashbihani (wafat 369 H). Kitab ini dalam penulisannya menggunakan metode para Muhadditsin dalam hal Tahdits dan Isnad (selalu mencantumkan sanad). Berisi tentang keagungan-keagungan Allah SWT, keajaiban-keajaiban alam Malakut, juga tentang hadis-hadis Nadzir (langka).

[8] Imam Abi an-Nashr ad-Daimi, Mukhtashar (ringkasan) dari kitab Firdaus al-Akhbar (Yang meringkas adalah Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dan diberi nama Tasdîd al-Qaws fî Mukhtashari Musnad Firdaus

Source:Alkahfi.net

Loading